Menyongsong Pemilu Legislatif 2009
Pemilu legislatif yang akan berlangsung beberapa saat lagi, atmosfernya kini sudah mulai terasa. Partai politik yang berhasil lolos sebagai peserta pemilu kali ini, tengah sibuk berbenah diri. Berbagai kesibukan pengurus parpol yang jelas terlihat diantaranya adalah pemasangan spanduk, poster, pamflet, baliho hingga stiker. Beragam bentuk dan ukuran atribut parpol menghiasi hampir di setiap sudut kota maupun desa. Atribut parpol yang bertebaran di seantero negeri ini seolah berlomba untuk menegaskan bahwa, "kami-lah parpol yang layak untuk anda pilih".
Pada umumnya atribut parpol yang terpampang di ruang publik didominasi potret diri sang caleg. Di samping sebagai ajang sosialisasi figur pada khalayak, disitu diselipkan pula slogan maupun platform partai. Slogan yang diusung pada umumnya mengklaim sebagai "pro rakyat". Terkadang di antara propaganda yang melekat dalam slogan terkesan basi, sehingga kurang kreatif dalam menjaring simpati pemilih.
Dari sekian banyak caleg yang pamfletnya bertebaran, hanya sedikit yang dikenal oleh masyarakat luas. Sebagian besar masyarakat menyatakan tidak mengenal figur mereka. Alasannya pun beragam, salah satunya adalah bahwa peran aktif serta kontribusi sang caleg di masyarakat nyaris tidak terdengar. Kalaupun sempat terdengar, gaungnya hanya sayup-sayup dan itupun hanya dilakukan oleh segelintir kandidat. Apalagi mengetahui secara detail rekam jejak mereka berikut sepak terjangnya di kancah politik, sepertinya hal itu jauh dari harapan. Oleh sebab itu upaya caleg dalam menampilkan foto diri dianggap sebagai salah satu upaya menjaring suara, meskipun hasilnya tidak terlampau signifikan.
Figur caleg yang akrab di mata masyarakat tentunya yang kerap tampil di media massa. Sebutlah para publik figur / artis yang masuk dalam bursa "calon legislatif" akan mudah dikenal oleh masyarakat ketimbang yang bukan. Namun apakah hanya dengan mengandalkan popularitas lantas masyarakat berbondong-bondong langsung memilihnya? Anggapan demikian sepenuhnya belum tentu benar, tolok ukur itu tidak dapat dijadikan parameter keberhasilan seorang caleg dapat mendulang banyak suara. Dewasa ini konstituen kian kritis, terutama kalangan terpelajar semakin selektif dalam menentukan pilihannya. Mereka tidak mudah begitu saja terpedaya dengan maraknya caleg yang hanya bermodalkan popularitas. Kesadaran masyarakat kian terbangun berkat pendidikan politik yang diperoleh secara tidak langsung dari berbagai media, diantaranya dari surat kabar, televisi, radio maupun internet.
Untuk itu sebelum anda gunakan hak pilih, teliti dahulu kecakapan mereka, baik dari segi integritas maupun kredibilitasnya. Jangan sampai anda terkecoh oleh bungkus kepopuleran sang caleg. Dan jangan sampai pada hari yang telah ditentukan anda menyesal, lantaran kandidat yang anda pilih tidak dapat mengakomodasi sebagian besar aspirasi rakyat pemilihnya alias hanya menjadi "politisi busuk belaka".
0 Comments:
Post a Comment
<< Kembali ke halaman depan